10. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)

Kerajaan  Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari  uang-uang  asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi  ‘sumanap’  sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal  dari uang  Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang tidak  beraturan.  Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian  beredar  juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi  bernilai 8  Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga  memanfaatkan  uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.
9. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Sultan  yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang  yang  pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat   tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di   tengahnya, disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang   ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.
8. Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)
Di  daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,  berdiri  kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata  uang  dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama   Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di   samping itu beredar juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga,   disebut kupa.
7. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)

Mata-uang  dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596  Masehi.  Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu  dengan  lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang  tengahnya  (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam  bahasa  Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di  Banten,  inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”.   Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh   Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang   ditemukan pada akhir-akhir ini.
6. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)

Uang  yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini   merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita   rakyat Buton, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu   Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV.   Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda   peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut   orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu   Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu   upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas   kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi   masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
5. Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)

Mata  uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak   oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya   disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat   standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil   dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai   mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6   mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik   az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
4. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad k-13)

pada  zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”,   dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam   bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena   pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang   berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan   lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin   ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di   Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah   redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di   Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
3. Uang "Ma", (Abad ke-12)
Mata  uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di   situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa)   dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di   samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil,   yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf   Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu   antara 2,4 – 2,5 gram.
Selain itu masih ada beberapa mata uang  emas dan perak berbentuk  segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium,  segitiga, bahkan tak beraturan  sama sekali. Uang ini terkesan dibuat  apa adanya, berupa  potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di  sini adalah sekedar  cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan  sebagai alat tukar. Tanda  tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa  gambar sebuah jambangan  dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga  (teratai?) dalam bidang  lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan  kronik Cina dari zaman  Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan  bahwa di Jawa orang  menggunakan potongan-potongan emas dan perak  sebagai mata uang, mungkin  itulah yang dimaksud.
2. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)
Pada  zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak  dengan  berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan   desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi   bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung,   dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada waktu itu uang kepeng Cina  datang begitu besar, sehingga saking  banyaknya jumlah yang beredar,  akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai  alat pembayaran, menggantikan  secara total fungsi dari mata uang lokal  emas dan perak.
1. Uang Syailendra (850 M)
Mata  uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi,   yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa   Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak,   mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
* Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
* Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
* Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya  masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30  gram) dan  1 Saga (0,119 gram). Koin emas zaman Syailendra berbentuk  kecil  seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran  6 x  6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”.  Di  belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua   bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik,   pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Masa  mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian  muka dicetak huruf  Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian  belakangnya  terdapatsyailendra.JPG incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
Blog Popularity
10 Mata uang tertua di Indonesia
Posted By
Ade G P
6 Jun 2011

0 Comment:
Posting Komentar